BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Masyarakat
Ekowisata Internasional mengartikan Ekowisata sebagai perjalanan wisata alam
yang bertanggungjawab dengan cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan
kesejahteraan masayakat lokal (TIES, 2000). Potensi objek ekowisata di
Indonesia cukup besar, salah satunya berada di Kabupaten Mandailing Natal
(Madina) Provinsi Sumatera Utara. Letak geografis Kabupaten Madina yang
strategis berada di antara dua daerah tujuan wisata yang biasa dikunjungi oleh
wisatawan lokal maupun mancanegara yaitu Bukit Tinggi (Sumatera Barat) dan
Danau Toba (Sumatera Utara). Daerah Madina yang masih alami dan
belum terjamah oleh sentuhan para ekowisatawan (ecotourist) baik dari dalam
negeri maupun mancanegara, menjadikan Kabupaten Madina sebagai solusi
alternatif wisatawan di masa yang akan datang dan sebagai tempat transit maupun
daerah tujuan wisata yang wajib dikunjungi setelah Bukit Tinggi maupun Danau
Toba.
Salah
satu dari sekian banyak yang berpotensi menjadi objek wisata di Mandailing
Natal, Pondok Pesantren Mustafawiyah Purba Baru besrta daerah di sekitarnya
merupakan tempat yang memiliki daya tarik tersendiri. Sehingga sangat cocok
untuk dijadikan sebagai lokasi objek ekowisata.
Nah...Di bawah ini ada beberapa foto Ponpes yang saya ambil dari beberapa web yang menjadi literatur dalam penulisan postingan kali ini...
Pondok
Pesantren Mustafawiyah Purba Baru berlokasi di Jalan Lintas Medan-Padang, Desa
Purba baru, Kecamatan Lembah Sorik
Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara. Pondok santri ini merupakan
pondok yang mempunyai ciri khas sendiri dan merupakan salah satu Pondok
Pesantren tertua bila dibandingkan dengan pesantren-pesantren lain di
Indonesia.
Di
Pesantren ini, para santri putra dilatih kemandiriannya dengan membangun pondok
tempat tinggal mereka. Ribuan pondok yang terhampar di Desa Purba Baru ini
menjadi pemandangan unik di jalan lintas Sumatra. Ada yang merupakan bangun
sederhana dengan atap rumbia dan dinding papan, tapi ada juga yang membangun
dengan model mutakhir, bahkan tak sedikit yang bertingkat dua atau tiga. Yang
menarik, walau mereka bangun dengan model mutakhir, tetap dengan penerangan
lampu sumbu dan beralaskan tikar pandan. Dipondok inilah para santri-santri
tinggal untuk memperdalam ilmu agamanya di Pesantren Musthafawiyah yang didirikan
oleh H. Musthafa Husein Nasution.
Gbr. Gubuk-gubuk tempat tinggal santri
Para
turis mancanegara tertarik melihat keberadaan gubuk-gubuk kecil berukuran 1,5 x
2,5 meter yang berbaris di sepanjang jalan, digunakan sebagai tempat tinggal
santri yang berasal dari berbagai daerah di negeri ini. Keberadaan gubuk-gubuk
kecil sebagai tempat santri dididik untuk hidup mandiri membuat kesan yang agak
asing, dan didukung jumlah santri yang mencapai 8000 orang membuat suasana
Ponpes Purba Baru menarik untuk disinggahi.
Selain
ketertarikan akan keunikan pesantren ini, masih berada disekitar lokasi
pesantren terdapat sebuah sungai yang disebut “Aek Singolot” yang airnya
bening, dan terdapat batu-batu besar yang
membelah aliran sungai serta berarus deras menawarkan keindahan alam yang
eksotik. Yang menjadikan sungai ini berbeda dengan sungai lainnya adalah airnya
yang terasa sepat karena mengandung kesadahan yang cukup tinggi.
Air
sadah merupakan air dengan kandungan mineral-mineral tertentu di dalam air,
umumnya ion kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) dalam bentuk garam karbonat. Inilah
yang menyebabkan sabun tidak akan menghasilkan busa atau hanya menghasilkan
sedikit sekali busa. Akan tetapi walupun sungai ini mnyebabkan pemborosan
penggunaan sabun, sungai ini merupakan salah satu tempat berlangsungnya aktifitas
MCK oleh para santri dan masyarakat di sekitarnya.
Yang
tidak kalah menarik, tak jauh dari lokasi Ponpes, terdapat rumah makan yang
menyuguhkan hidangan khas Mandailingnya yang nikmat. Rumah makan itu berdesain
seperti pondokan-pondokan beratap ijuk didirikan di tepi “Aek Singolot” (Sungai
Singolot).
Di
seberang rumah makan yang dibatasi sungai itu berjejer pepohonan yang hampir
semuanya adalah pepohonan karet. Terkadang tampak gerombolan kera berkeliaran
di sana. Pepohonan karet yang rimbun menyerupai hutan itu plus suara aliran
sungai yang gemericik tak pernah berhenti sungguh membuat suasana sangat teduh
dan nyaman, meski cuaca sedang terik sekalipun. Tak heran, nafsu makan sering
bertambah saat bersantap di tempat ini.
Menu
andalan rumah makan yang bernama “Pondok Paranginan” ini adalah “Kopi
Mandheling” atau sering juga disebut Kopi takar (batok kelapa) karena
batok/tempurung kelapa yang dijadikan sebagai wadah penyajiannya. Batok bukan
sembarang batok. Batok kelapa yang ini terbuat dari batok kelapa gading yang
dibentuk seperti cangkir lengkap dengan tatakannya. Yang uniknya lagi, kopi
khas Madina itu disajikan dalam cangkir batok tersebut dengan sebatang kayu
manis dimasukkan ke dalamnya, persis seperti sedotan dan memang difungsikan
sebagai sedotan untuk menikmati rasa kopinya yang khas. Sebuah perpaduan rasa
kopi Mandheling dan kayu manis yang unik. Tidak terlalu manis dan hangat sampai
ke perut akan membuat para penikmatnya ketagihan.
Gbr. Kopi Mandheling...hmmm...nikmat'aaaa...!!
Selain
Kopi Takar, menu khas Mandailing lainnya juga bisa dinikmati di sini, diantaranya
“sambal tuktuk”, gulai “bulung gadung na i duda” (daun ubi tumbuk).
Berdasarkan
keunikan-keunikan di atas, diharapkan bisa menjadi sebuah pertimbangan bahwa
kawasan Ponpes Mustofawiyah Purba Baru sekitarnya dapat dijadikan menjadi salah
satu lokasi pengembangan objek ekowisata.
1.2.
Tujuan
Adapun tujuan daerah
tersebut dijadikan objek wisata adalah sebagai berikut.
1. Ekonomi
masyarakat disekitarnya akan terbantu dan dapat mendorong masyarakat dalam
melestarikan keunikan-keunikan alam dan budaya yang ada di daerah tersebut
2. Untuk
membantu Pondok Pesantren Mustafawiyah Purba Baru dalam mengkomunikasikan
keberadaanya kepada publik.
3. Agar
nilai-nilai religi di dareah tersebut tetap terjaga.
^_^
HaLak MandaiLing Do Aw Kawaaannn..!!!
HORAAASSSSS,,,,!!!
^_^